Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Si tuan yang sedang mabuk

Aku pengen muntah melihat kejadian hari ini. Kau tahu mengapa? Aku melihat seseorang mendatangi sebuah rumah di mana pemiliknya sedang mabuk dan semua orang di sana disuruh melayaninya, aku tak tahu sampai kapan ia mabuk. Tentu tak perlu kuceritakan padamu bagaimana orang mabuk itu, kau tahu. Di matanya hanya ada satu: bahagia dengan cara gila. Penglihatannya mulai mengabur, ia kehilangan arah, bahkan orang yang di hadapannya hampir tak terlihat, bicaranya ngelantur kemana-mana, tapi baginya itu adalah kata mutiara paling bijak yang harus didengar. Pada masa-masa seperti itu semua orang seperti melihat gerimis dari dalam ruangan: hangat dan dingin bercampur, antara ingin berlari keluar dan kembali memeluk masa kanak-kanak atau tetap berteduh di dalam rumah pengap nan bau busuk itu. Pernah suatu ketika, dia ingin mengambil bintang di langit-langit kamarnya yang dia cipta dari keinginanya dulu, tapi dia malas berkeringat. Dia menyuruh orang lain untuk mengambilnya. Dan kau tahu apa y...

Induk Ayam, hehehee

Di hadapan perempuan cantik, yang beranjak tua itu. Aku, seperti halaman yg terbuka kaku. Di mataku, Di jiwaku, Di tubuhku, Jutaan huruf-huruf, terus tumbuh. Dieja dan terus dibaca. Isyarat, seakan begitu mudah ia duga. Dan aku harus memasang telinga. Lebih dekat, Lebih pekat, Tanpa sekat, Mendngar kisahku sendiri, agar tak ada yg terlewat. (Rumahku, 2019)

Sebatas riwayat

Waktu adalah jalan yang ku lewati, setiap hari. tanpa ku mengerti, kemana ia akan membawaku berlari. dan kau, adalah renungan yang menolak mati. dengan hasrat menyala, diatas ubun-ubun ku sumpama api.    Mataku adalah tempat istrahat, bagi hatiku si pndusta.  dan hatiku adalah tempat bagi si duka, mengembara. dan aku tahu,bahkan se a ndainya pun, harusnya tak ada. sebab, langit tetaplah langit dan bumi tetaplah bumi. aku hanyalah riwayat pagi, yang tidak tercipta dari mimpi. (Tamalanrea,2019)

Kamu dan tuak

Di dekatmu, waktu adalah tuak. Yang membuatku mabuk, sampai ke dasar lubuk. Segalanya, Menjadi hidup yang memandangmu penuh takjub. Kubiarkan mataku, menyusuri matamu. sampai, Aku tenggelam dan karam. Dan aku ingin tahu rahasia senyummu. yang mampu menundukkan duniaku. Kisahmu, Akan ku abadikan sepanjang jalan. Lebih panjang, dari zaman yang melukisku sebagai kekalahan. kenyataan adalah guguran kamboja, yang memenuhi batok kepalaku. Ada tangan lain yang lebih dulu memelukmu, sebelum tiba tanganku. Pada akhirnya, aku hanya  mampu menghibur diri sendiri, dengan kata: Kuikhlaskan kau pergi. Sampai batu-batu. Kayu-kayu. Dan segala sesuatu, Yang membawa aku padamu. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. kembali, menuju diri, Sendiri. (tembok samping tv, 11 february 2019)

Menunggu balasan jibril

Malam ini, aku pergi ke tepi sunyi. Mengeja hidup, yang tak ku pahami. Aku, duduk di bibir harapan manis. Menunggu indah, yang kunamai gerimis. Kepada jibril telah ku titipkan surat. Tentang jiwaku yang sekarat. Aku hanya bisa terdiam. Didalam jiwa yang remuk redam. Aku adalah anak manusia yang terlahir, dari rahim luka. Hidup sebagai seorang pertapa. menanggung nestapa. Disini, aku menunggu jibril dalam getir. Untuk bisiki aku, tentang takdir. ( Makassar, 11 february 2019)